Menuju Kesempurnaan Ibadah Shalat (Bag. 2): Thaharah
Baca penjelasan sebelumnya pada artikel Menuju Kesempurnaan Ibadah Shalat (Bag. 1).
Thaharah atau yang biasa kita sebut dengan “bersuci” merupakan syarat penting sahnya suatu ibadah shalat. Dalam setiap pembahasan tentang fiqih, Bab Thaharah selalu didahulukan sebagai pertanda betapa pentingnya mempelajari thaharah sebelum melaksanakan ibadah seperti shalat, membaca al-qur’an, thawaf dan ibadah lainnya yang mensyaratkan thaharah sebelum melaksanakannya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مِفْتَاحُ الصَّلَاةِ الطُّهُورُ وَتَحْرِيمُهَا التَّكْبِيرُ وَتَحْلِيلُهَا التَّسْلِيمُ
“Kunci shalat adalah bersuci, yang mengharamkannya adalah takbir, dan yang menghalalkannya adalah salam.” [1]
Bersuci merupakan bentuk kesempurnaan iman, sebagaimana sabda Rasulullah shallahahu ‘alaihi wa sallam,
اَلطُّهُوْرُ شَطْرُ الْإِمَان
“Bersuci itu setengah dari iman.” [2]
Thaharah dilakukan dengan cara menghilangkan hadats (kotoran) yang termasuk dalam kategori najis; menggunakan air atau debu yang dapat menyucikan. [3]
Najis atau kotoran tersebut merupakan penghalang bagi seorang muslim untuk melaksanakan ibadah shalat. Dengan demikian, membersihkan najis dari tubuh dan pakaian merupakan syarat yang harus kita penuhi sebelum melaksanakan shalat.
Adapun air yang digunakan untuk thaharah adalah air yang suci dzatnya dan dapat digunakan untuk menyucikan, sebagaimana firman Allah Ta’ala,
وَيُنَزِّلُ عَلَيْكُمْ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً لِيُطَهِّرَكُمْ بِهِ
” … dan Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk mensucikan kamu dengan hujan itu.” (QS. al-Anfal: 11)
Dalam ayat yang lain, Allah Ta’ala juga berfirman,
وَأَنْزَلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً طَهُورًا
” dan Kami turunkan dari langit air yang amat bersih.” (QS. al-Furqan: 48)
Begitupula dengan thaharah menggunakan debu (baca: Tayammum) yang disebabkan beberapa hal seperti ketiadaan air, sakit yang tidak bisa tersentuh air, dan berbagai faktor lainnya. Sehingga Allah Ta’ala memberikan keringanan kepada setiap ummatnya untuk memperoleh jalan lain dalam rangka menyucikan diri baik secara bathiniyah maupun lahiriyyah sebelum beribadah kepada Rabb-Nya.
Berkaitan dengan tayammum ini, Allah Ta’ala berfirman,
وَإِن كُنتُم مَّرْضَىٰ أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِّنكُم مِّنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُم مِّنْهُ “
“ … dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu …” (QS. Al-Maaidah: 6)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
إِنَّ الصَّعِيْدَ الطَّيِّبَ طَهُوْرُ الْمُسْلِمِ وَإِنْ لَمْ يَجِدِ الْمَاءَ عَشْرَ سِنِيْنَ.
“Sesungguhnya tanah yang suci adalah sarana bersuci bagi seorang muslim. Meskipun dia tidak menemukan air selama sepuluh tahun.” [4]
Baca Juga: Beberapa Kesalahan Seputar Thaharah
Jenis Thaharah
Thaharah terbagi menjadi 2 (dua) jenis, yaitu Thaharah zahiriyyah dan Thaharah bathiniyyah.
Thaharah zahiriyyah maksudnya adalah menyucikan badan, pakaian, dan tempat shalat dari najis dengan berwudhu atau bertayammum menggunakan air atau debu yang suci. [5] Sedangkan Thaharah bathiniyyah yaitu menyucikan diri dari kemusyrikan dan kemaksiatan.
Thaharah bathiniyyah lebih utama didahulukan daripada thaharah zahiriyyah. Karena bersuci yang dilakukan oleh seseorang itu tidak sah bagi mereka yang masih melakukan kesyirikan. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,
إِنَّ المُشْرِكِيْنَ نَجَسٌ
“Sesungguhnya orang-orang musyrik itu janis (kotor jiwa)”. (QS. at-Taubah: 28)
Hal yang penting diperhatikan dalam menggunakan air untuk bersuci adalah agar air tersebut tidak bercampur najis dengan memastikan bahwa air itu tidak berubah warna, rasa, atau baunya.
Thaharah bathiniyyah dilakukan dengan mentauhidkan Allah dan tidak berbuat kesyirikan. Oleh karena itu, setiap muslim yang mukallaf wajib membersihkan dirinya dari kemusyrikan. Juga tidak kalah pentingnya, seorang mukallaf membersihkan dirinya dari perbuatan maksiat, dengki, riya’, ujub, sum’ah, dan segala perbuatan yang dilarang secara syar’i. Hal ini dilakukan demi memperoleh jalan menuju kesempurnaan ibadah shalat agar diterima oleh Allah Ta’ala.
Wallahualam bi as-shawaab
[Bersambung]
Baca Juga:
***
Penulis: Fauzan Hidayat, S.STP., MPA
Artikel asli: https://muslim.or.id/61182-menuju-kesempurnaan-ibadah-shalat-bag-2-thaharah.html